Latar Belakang
Prestasi yang gemilang atas proses transformasi
akuntansi sektor publik, khususnya pada pemerintahan di Indonesia tidak dapat
sepenuhnya hanya diukur dari opini atas LKPP, LKKL dan LKPD yang trendnya
menunjukkan perbaikan dari periode ke periode. Dengan masih ditemukannya
sejumlah penyimpangan dan penyelewengan atas pengelolaan keuangan negara,
mengindikasikan masih ada permasalahan dalam proses transformasi tersebut.
Permasalahan ini sangat mendasar, karena selain berakibat pada tidak
berfungsinya akuntansi secara maksimal, juga karena terjadi pada semua lini.
Untuk itu, dalam rangka pembenahannya, maka proses transformasi akuntansi
sektor publik semestinya diikuti dengan pembentukan mindset yang sesuai oleh
para penentu kebijakan atas fungsi akuntansi dalam lingkup pemerintahan dari
hulu sampai ke hilir, dan wujud dari pembentukan mindset tersebut, keberadaan
master plan pengelolaan keuangan negara/daerah dan pembentukan komite audit,
minimal pada setiap entitas pelaporan, sudah saatnya untuk diwacanakan
sebagai alternatif strateginya.
Dipenghujung tahun 2010 ini, kabar gembira
datang dari Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Hadi Poernomo dalam Rapat
Paripurna di gedung DPR pada tanggal 12 Oktober 2010 silam berkaitan dengan
kualitas penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Kementerian
Negara/Lembaga (LKKL) dan Pemerintah Daerah (LKPD). Dinyatakan bahwa kualitas
penyusunan LKPP, LKKL dan LKPD saat ini telah lebih baik daripada periode
sebelumnya. Hal ini ditandai dengan perubahan opini BPK atas LKPP dari opini
tidak memberikan pendapat (TMP/Disclaimer) atas LKPP tahun
2004-2008 menjadi opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas LKPP tahun 2009
serta terjadinya peningkatan persentase opini wajar tanpa pengecualian (WTP)
dan penurunan persentase opini TMP atas LKKL dan LKPD pada tahun 2009.
Pernyataan tersebut setidaknya memberikan angin
segar dan secuil harapan atas terwujudnya good governance penyelenggaraan
negara di Indonesia, khususnya berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
Namun, dengan masih ditemukannya 10.113 kasus yang senilai Rp. 26,12 triliun
dari 528 objek pemeriksaan BPK pada semester I tahun 2010 tersebut,
mengindikasikan bahwa masih ada permasalahan dalam proses transformasi
akuntansi sektor publik di Indonesia selama 5 tahun terakhir ini, harapan atas
berfungsinya akuntansi dalam rangka mengurangi korupsi dan kolusi, meningkatkan
efisiensi dan efektifitas serta mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara ternyata masih belum dapat menunjukkan
kontribusinya secara maksimal.
Faktor utama yang mengakibatkan belum
maksimalnya fungsi akuntansi di dalam lingkup pemerintahan selama ini
dikarenakan proses transformasi akuntansi sektor publik di Indonesia belum
sepenuhnya diikuti dengan pembentukan mindset yang sesuai atas fungsi
akuntansi dalam organisasi pemerintahan oleh sebagian penentu kebijakan mulai
dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sampai kepada wakil rakyat di
DPR dan DPRD. Hal ini terlihat dari polemik yang tak berujung atas regulasi
yang mendasari penerapan akuntansi pada pemerintahan, fungsi akuntansi yang
dalam kenyataannya masih banyak dikesampingkan dalam setiap tahapan pengelolaan
keuangan negara/daerah dan tidak terpublikasinya laporan keuangan pemerintah
secara luas kepada masyarakat, yang kesemuanya itu terjadi dikarenakan anggapan
sebagian para penentu kebijakan yang hanya menganggap akuntansi sebagai alat
pertanggungjawaban semata atau dalam kata lain hanya menjadikan akuntansi
sebagai komoditas politik dalam rangka menjalankan ketentuan perundang-undangan
belaka.
Polemik Atas Regulasi
Regulasi yang mendasari penerapan akuntansi
pada pemerintahan di Indonesia, khususnya sebagai dasar penyajian laporan
keuangan pemerintah telah diberlakukan sejak pertengahan tahun 2005 silam
melalui PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Polemik atas regulasi ini adalah selain penuh dengan nuansa politis dalam
penetapannya, pemberlakuan basis akrual pada akuntansi pemerintahan yang
semestinya telah diberlakukan sejak tahun 2008 silam sebagaimana diamanatkan
pada pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Keuangan Negara, juga disinyalir masih
terdapat kontroversi dengan ketentuan perundangan-undangan lainnya. Begitupula
pada tataran penerapan SAP, khususnya pada Pemerintah Daerah, pedoman
pengelolaan keuangan daerah yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri RI
belum sepenuhnya sesuai dengan SAP, sehingga untuk menyesuaikan dengan SAP,
Pemerintah Daerah harus melakukan konversi terlebih dahulu. Keadaan ini
diperparah lagi dengan adanya beberapa Pemerintah Daerah yang tidak memiliki
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang komprehensif dalam mengatur
pengelolaan keuangan daerah dan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah.
Hal inilah yang mengakibatkan akuntansi dari sisi regulasi belum dapat
berfungsi secara maksimal.
Pembahasan
Isu terkini didalam pelaksanaan
akuntansi keuangan daerah adalah mengenai penerapan PP 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan sebagai pengganti PP Nomor 24 Tahun 2005. Dimana
PP 71 merupakan penerapan akuntansi pemerintahan berbasis akrual murni meskipun
didalam peraturan tersebut juga masih diakomodir pilihan menerapkan basis
kas menuju akrual sebagaimana yang diatur didalam PP nomor 24 tahun
2005 selama masa transisi dimana pelaksanaan akrual murni paling tidak harus
diterapkan paling lambat empat (4) tahun setelah peraturan ini diterbitkan.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan reformasi di bidang akuntansi terutama untuk penerapan akuntansi
berbasis akrual pada setiap instansi pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun
pemerintahan daerah, dimulai tahun anggaran 2008. Hal ini ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal 36 ayat
(1) yang berbunyi sebagai berikut: ”Ketentuan mengenai pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya
dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis
kas.”
Apa yang dimaksud dengan akuntansi
berbasis akrual, yaitu suatu basis akuntansi di mana transaksi ekonomi dan
peristiwa lainnya diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan pada
saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa memperhatikan waktu kas atau setara
kas diterima atau dibayarkan. Dalam akuntansi berbasis akrual, waktu pencatatan
(recording) sesuai dengan saat terjadinya arus sumber daya, sehingga
dapat menyediakan informasi yang paling komprehensif karena seluruh arus sumber
daya dicatat.
Study #14 IFAC
Public Sector Committee (2002) menyatakan bahwa pelaporan berbasis akrual
bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja pemerintah terkait biaya jasa layanan,
efisiensi, dan pencapaian tujuan. Dengan pelaporan berbasis akrual, pengguna
dapat mengidentifikasi posisi keuangan pemerintah dan perubahannya, bagaimana
pemerintah mendanai kegiatannya sesuai dengan kemampuan pendanaannya sehingga
dapat diukur kapasitas pemerintah yang sebenarnya. Akuntansi pemerintah
berbasis akrual juga memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi kesempatan
dalam menggunakan sumberdaya masa depan dan mewujudkan pengelolaan yang baik
atas sumberdaya tersebut.
Jika
dibandingkan dengan akuntansi pemerintah berbasis kas menuju akrual, akuntansi
berbasis akrual sebenarnya tidak banyak berbeda. Pengaruh perlakuan akrual
dalam akuntansi berbasis kas menuju akrual sudah banyak diakomodasi di dalam
laporan keuangan terutama neraca yang disusun sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP). Keberadaan pos piutang, aset tetap, hutang merupakan bukti
adanya proses pembukuan yang dipengaruhi oleh asas akrual.
Ketika
akrual hendak dilakukan sepenuhnya untuk menggambarkan berlangsungnya esensi
transaksi atau kejadian, maka kelebihan yang diperoleh dari penerapan akrual
adalah tergambarkannya informasi operasi atau kegiatan. Dalam sektor komersial,
gambaran perkembangan operasi atau kegiatan ini dituangkan dalam Laporan Laba
Rugi. Sedangkan dalam akuntansi pemerintah, laporan sejenis ini diciptakan dalam
bentuk Laporan Operasional atau Laporan Surplus/Defisit.
Dengan
demikian, perbedaan kongkrit yang paling memerlukan perhatian adalah
jenis/komponen laporan keuangan. Perbedaan
mendasar SAP PP 24/2005 dengan SAP Akrual terletak pada PSAP 12 mengenai Laporan Operasional. Entitas pemerintah melaporkan
secara transparan besarnya sumber daya ekonomi yang didapatkan, dan besarnya
beban yang ditanggung untuk menjalankan kegiatan pemerintahan. Surplus/defisit
operasional merupakan penambah atau pengurang ekuitas/kekayaan bersih entitas
pemerintahan bersangkutan. Secara ringkas perbedaan komponen laporan
keuangan basis akrual dengan basis kas menuju akrual disajikan pada Lampiran
II.
Walaupun basis akrual berlaku
efektif untuk laporan keuangan atas pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran mulai tahun 2010, tetapi apabila entitas
pelaporan belum dapat menerapkan PSAP ini, entitas pelaporan dapat menerapkan
PSAP Berbasis Kas Menuju Akrual paling lama 4 (empat) tahun setelah Tahun
Anggaran 2010. Penerapan SAP
Berbasis Akrual dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP Berbasis
Kas Menuju Akrual menjadi penerapan SAP Berbasis Akrual. Ketentuan lebih
lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual secara bertahap pada pemerintah
pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan untuk pada pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri (pasal 7 PP 71 tahun 2010).
oleh Mayda Istianah
C1C011051